Peredaran obat-obatan resep secara
ilegal hingga kini masih cukup tinggi. Obat-obatan yang seharusnya
dibeli dengan resep dokter namun dijual bebas di pasaran ini umumnya
berjenis obat penenang dan antibiotik. Akibatnya, karena dijual bebas,
obat resep yang biasanya tergolong obat keras tersebut seringkali
disalahgunakan dan menyebabkan over dosis hingga kematian.
Untuk itu, Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (Badan POM) melalui Balai Besar POM di seluruh daerah pun
semakin memperketat pengawasan terhadap peredaran obat-obatan resep
tersebut.
Penjualan obat-obatan resep secara bebas ini biasanya dilakukan oleh
warung-warung obat tradisional atau toko obat. Obat yang paling sering
dibeli oleh masyarakat yaitu obat penghilang rasa sakit, obat penenang,
dan antibiotik.
Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar
Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Bandung, Siti Rulia mengatakan,
obat-obatan yang biasanya diresepkan oleh dokter adalah obat-obatan yang
tergolong ke dalam obat keras. Obat ini harus digunakan sesuai aturan
dokter. Jika kelebihan pemakaian atau disalahgunakan, maka akan
berakibat fatal bagi kesehatan, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Siti Rulia mengatakan, pihaknya saat ini semakin memperketat
pengawasan terhadap praktik penjualan bebas obat-obatan resep ini. Salah
satunya yaitu dengan mencabut ijin edar obat Dextro karena paling
banyak disalahgunakan. Meski bukan merupakan obat keras, Dextro yang
masuk dalam obat golongan bebas terbatas dan bisa didapatkan tanpa resep
dokter ini sangat membahayakan kesehatan jika disalahgunakan.
“Jadi itu hanya obat batuk sebenarnya. Tapi oleh masyarakat
disalahgunakan. Yang harusnya minumnya 3 kali 1 tablet. Ini minumnya
bisa 10 tablet sekali minum. Sementara efek samping dari obat tersebut
macam-macam, antara lain ada yang menyebabkan depresi pernapasan dan
akhirnya menyebabkan kematian. Nah, kami bekerjasama dengan dinas
kesehatan setempat. Dan juga sudah ada tindak lanjut bahwa seperti
Dextro, itu sudah dicabut ijin edarnya. Tidak ada lagi peredarannya,
jadi pabrik sudah tidak boleh memproduksi lagi,” kata Siti Rulia.
Siti Rulia menambahkan, Balai Besar POM di Bandung setiap minggu
melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan dengan menerjunkan
langsung petugas ke lapangan, antara lain ke pabrik obat-obatan, toko
obat, apotek, dan supermarket. Pihaknya melalui Bidang Sertifikasi dan
Layanan Informasi Konsumen juga gencar melakukan penyuluhan kepada
masyarakat melalui program Penyebaran Informasi Obat dan Makanan,
bekerja sama dengan dinas kesehatan kota dan kabupaten seluruh Jawa
Barat.
Penyuluhan tersebut diantaranya ditujukan kepada para tokoh
masyarakat, ibu-ibu rumah tangga, remaja, para pemilik toko dan warung
obat berizin, dan supermarket. Dalam penyuluhan tersebut Balai Besar POM
menjelaskan tentang bahaya mengonsumsi obat-obatan palsu dan
obat-obatan resep secara bebas, juga sanksi yang dikenakan jika
mendistribusikan atau menjual obat-obatan secara ilegal.
“Jadi hasil pemeriksaan kita disampaikan ke dinas kesehatan setempat
untuk direkomendasikan. Seandainya terjadi pelanggaran itu bisa dicabut
izin toko obatnya oleh dinas kesehatan setempat. Dan untuk proses
pengadilan kita bisa langsung dilakukan pro justicia sampai ke
persidangan. Kita kebetulan ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang
punya kewenangan khusus melakukan pengamanan, penyitaan, sampai ke
proses pengadilan,” lanjutnya.
Sementara itu, seorang pemilik toko obat berizin di Bandung, Tatang
mengatakan, masyarakat yang ingin membeli obat keras tanpa resep dokter
jumlahnya cukup banyak. Namun, ia tidak pernah menjual obat tersebut.
Menurut Tatang, selain berbahaya bagi kesehatan, ia juga tidak mau
terjerat pidana akibat menjual obat secara ilegal. Tatang mengatakan,
penyuluhan dari Balai Besar POM mengenai penjualan obat tanpa resep juga
pernah ia ikuti.
“Kalau toko obat kami hanya menjual obat bebas terbatas dan obat bebas
yang tanpa resep, bukan obat keras. Ada saja orang yang mau beli tanpa
resep, tapi saya suruh ke apotek karena saya nggak jual obat itu,” kata
Tatang.
Maraknya penyalahgunaan obat resep cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, obat
tersebut dalam dosis yang tinggi biasanya menyebabkan ketagihan dan
disalahgunakan untuk mabuk. Balai Besar POM di Bandung pun mengimbau
masyarakat agar berhati-hati dan sadar untuk tidak membeli obat-obatan
resep secara bebas atau ilegal. Seorang warga, Faisal, mengungkapkan
pengalamannya.
“Saya pernah ada resep, tapi resepnya sudah kadaluarsa, sudah terlalu
lama. Cuma karena saya masih ada pegangan resep, saya coba ke apotek
yang ternama, nggak dikasih. Anggapan saya, sakit saya ini sakit seperti
yang dulu. Jadi saya coba nebus (obat) lagi, rupanya tidak bisa. Saya
disarankan harus ke dokter lagi. Nah, saya coba ke apotek yang tidak
punya brand (tidak ternama), saya tunjukin resepnya, boleh. Tapi (obat)
dikasihnya hanya separuh,” kata Faisal.
Berdasarkan data dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), di
tahun 2014, Badan POM telah menyita obat ilegal dengan total nilai
mencapai Rp24 miliar dan pelanggaran hingga 583 kasus. Sanksi terhadap
penjualan bebas obat-obatan keras yang penjualannya harus menggunakan
resep dokter terdapat dalam Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Dalam pasal 198 UU tersebut dikatakan bahwa pendistribusian atau
penjualan obat-obatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya
keahlian dan kewenangan dikenakan sanksi denda maksimum Rp100 juta. Jika
obat yang diedarkan atau dijual tersebut tidak terdaftar, atau produk
obatnya tidak memiliki izin edar, maka sanksinya lebih berat,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 197, yaitu sanksi berupa kurungan
maksimal 15 tahun penjara atau denda maksimum Rp1,5 miliar.
R.Teja Wulan
http://www.voaindonesia.com/content/overdosis-obat-obatan-resep-marak-bpom-perketat-pengawasan/3030936.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar